Jakarta (SIB) - Anggota Komisi II sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi PDIP, Arif Wibowo, mengatakan, pangkal utama permasalahan munculnya fenomena calon tunggal terletak pada sistem pemilu Indonesia yang dinilai 'mahal' dan membutuhkan biaya tinggi. Mahalnya biaya tersebut, cenderung terkonversi menjadi suburnya praktik money politic."Untuk wujudnya, misalnya, ada calon petahana yang berani memberikan segala upaya yang bisa dia buat demi memperoleh dukungan semua partai politik (Parpol) yang ada. Hal ini faktor penting munculnya fenomena calon tunggal," kata Arif di Jakarta, Rabu (28/9).Di sisi lain, lanjut dia, praktik money politic yang terjadi hingga tingkat pemilih, juga membuat para calon lainnya, baik dari kalangan muda usia di parpol hingga yang dari jalur independen, berpikir dua kali sebelum memutuskan maju ke gelanggang."Kalau dikatakan bahwa calon tunggal ini adalah karena gagalnya kaderisasi, saya tidak setuju. Kaderisasi tak ada hubungannya dengan calon tunggal dan politik uang," kata Arif."Pragmatisme politik yang transaksional, itu penyebabnya, karena sistemnya memang mahal."Baginya, ke depan tetap diperlukan perubahan Undang-undang (UU) untuk mengatasi situasi itu. Hanya saja, dirinya tidak sepakat apabila yang diubah adalah ambang batas pengajuan calon menjadi turun, atau membatasi jumlah dukungan parpol yang bisa didapatkan sepasang kandidat.Arif lebih sepakat bila yang diperjelas di aturan adalah, semisal, pembedaan jelas antara parpol pendukung atau parpol pengusung calon kepala daerah."Pembedaannya harus jelas. Ya kira-kira, kalau diperjelas, parpol takkan mau jadi sekedar pendukung, dia harus jadi pengusung," ujarnya.Namun, poin utama perubahan adalah soal bagaimana sistem harus dibangun sehingga pemilu dan pilkada di Indonesia tak lagi mahal, yang akan cenderung menghasilkan pragmatisme politik."Sekali lagi, masalahnya adalah karena pilkada kita ini, pemilu kita ini, sangat sarat modal," tandas Arif. (SP/d)