Kejar Swasembada Pangan, Pemerintah Diharap Subsidi Petani untuk Hentikan Alih Fungsi Lahan

- Rabu, 14 Maret 2018 12:50 WIB

Warning: getimagesize(https://hariansib.com/cdn/uploads/images/2018/03/hariansib_Kejar-Swasembada-Pangan--Pemerintah-Diharap-Subsidi-Petani-untuk-Hentikan-Alih-Fungsi-Lahan.jpg): Failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.1 403 Forbidden in /home/u956909844/domains/hariansib.com/public_html/amp/detail.php on line 170

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u956909844/domains/hariansib.com/public_html/amp/detail.php on line 171

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u956909844/domains/hariansib.com/public_html/amp/detail.php on line 172
SIB/Dok
SUBSIDI PETANI: Ketua IAFEN James Ganda Sormin SE di lahan pertanian padi dengan petani sedang memanen. Butuh skema subsidi bagi petani untuk memenuhi target swasembada pangan.
Medan (SIB) -Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi UHN Medan (IAFEN) James Ganda Sormin SE berharap pemerintah menyubsidi petani untuk mengejar target swasembada pangan, menghentikan alih fungsi lahan dan alih fungsi tanaman. "Target Kementan kan swasembada 3 bahan pengan pokok padi, jagung dan kedelai (Pajale). Upaya tersebut pada kenyataannya menghadapi tantangan. Mayoritas petani beralih ke sawit yang lebih menguntungkan untuk jangka panjang," tambahnya dalam diskusi dengan sejumlah profesional di Le Polonia Medan, Senin (12/3). Di kegiatan yang diikuti lintasprofesi tersebut pun hadir pengacara muda Ramli Tarigan SH yang pengurus Ika UISU Medan.Sesuai data, lahan pertanian yang masih eksis di Indonesia 8,1 juta hektare, terbanyak berada di Pulau Jawa namun terus tergerus. Di Sumatera terjadi alih fungsi ke sawit. "Sesuai data, alih fungsi sejak 2012 per tahunnya 100.000 hektare. Hingga kini, alih fungsi menjadi area lain seperti properti atau kawasan industri, lebih besar dibandingkan dengan rata-rata alih fungsi lahan," jelasnya.Di Sumatera, untuk tanam padi hanya memanfaatkan lahan lebak, rawa, tegalan, pasang surut dan lahan kering. Tantangan lain, kesuburan lahan semakin menurun seiring kandungan organiknya semakin tidak optimum untuk produksi pangan. "Itulah sebabnya kenapa harga Pajale cenderung naik. Indonesia dengan tingkat konsumsi beras tinggi, selalu 'bising' dengan naiknya harga dan diselesaikan dengan impor. Padahal itu solusi singkat yang cenderung salah," nilai Ganda Sormin.Ia mengusulkan, pemerintah subsidi petani Pajale. Misalnya, seluruh hasil panen dibeli pemerintah dengan harga di atas rata-rata. "Secara naluri, petani Pajale pasti otomatis meningkat karena ada jaminan tanamannya terserap pasar. Cara itu membuang model impor yang terus dilakukan selama ini," prediksinya sambil mengatakan adalah tindakan sangat tak dapat ditoleransi jika dengan impor Pajale untukmendapat tambahan pajak.Dari data yang mengemuka pasca diskusi 1 - 14 November 2017 untuk 񟭑 Article IV Consultative' di mana Pimpinan Misi IMF untuk Indonesia Luis E Breur memrediksi laju pertumbuhan ekonomi menjadi 5,3 persen di tahun 2018, setelah 5,1 persen di tahun 2017. Kesimpulan itu berdasarkan laju impor pangan khususnya Pajale. "Impor untuk menambah pendapatan negara dari pajak berdampak kontraksi ekonomi karena rakyat pasti terbebani, perputaran ekonomi jadi seret. Muaranya, inflasi dan nilai rupiah terdepresiasi," simpulnya.Ia mengurai, Indonesia tak semata mengimpor Pajale tapi mencakup tepung terigu, gula pasir, daging, garam, mentega, bawang putih bahkan lada, ketang, cabai kering dan cabai awet sementara hingga telur unggas dan unggas. "Impor berlebih tak hanya boros devisa, tapi mengangkangi amanat UUD 1945 yang dituangkan dalam GBHN Bab III B No 14 di mana pembangunan ekonomi harus memosisikan masyarakat sebagai subyek," tegasnya.Ia memrediksi, jika skema seperti saat ini terus dipedomani maka pertumbuhan ekonomi di Indonesia 'semu' karena  kemakmuran itu tak maksimal dinikmati rakyat. "Kembali ke soal pertanian, laju pertumbuhan ekonomi harus ril dari nilai jual hasil bumi yang baik dan nilai beli masyarakat yang tinggi," paparnya.Sebaliknya, ujarnya, jenis pertanian rakyat yang menghasilkan pangan, karet, coklat, sawit dan lainnya yang jadi primadona di Sumut justru berbanding terbalik dengan harapan publik. "Indikasinya, harga jualnya selalu tidak stabil dan ditentukan 'orang luar' yang sangat memengaruhi pertumbuhan kesejahteraan petani," tutup James Ganda Sormin. (R10/h)


Tag:

Berita Terkait

Ekonomi

BBPOM Medan Gencarkan Kampanye “ABC + 4T” Lawan Resistensi Antimikroba

Ekonomi

Konag XV GMI Tutup dengan Penahbisan Bishop Baru, Bishop Antoni Manurung Pimpin Dewan Bishop

Ekonomi

NasDem Deliserdang Layani Seratusan Pengobatan Gratis Beri Beras

Ekonomi

Timsus Dayok Polres Pematangsiantar Amankan 9 Sepeda Motor Berknalpot Brong

Ekonomi

Seorang Perempuan di Tapteng Laporkan Kasus KDRT Lewat 110

Ekonomi

Tuan Rumah Borong 4 Gelar Juara Indonesia Masters 2025 di Medan