Jakarta (SIB) -Belasan aktivis hingga politikus menjamin terdakwa Meliana untuk mengajukan penangguhan atas kasus penistaan agama. Putri Gus Dur, Inayah Wulandari Wahid menilai umat muslim harus melindungi kelompok minoritas.
"Jangan sampai hal ini terus melupakan nilai Islam yang besar rahmatan lil'alamin, menjadi siapapun kaum lemah itu tugas kita seorang muslim melindungi, sekarang bersikap tidak adil itu menjadi catatan kita," ucap Inayah dalam diskusi kasus Meliana di Kekini, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Kamis (30/8).
Adapun aktivis hingga politikus yang tergabung Gerakan Indonesia Kita (GITA) menjadi jaminan bagi penangguhan penahanan Meliana yaitu, Agus Sari, Ahmad Djuhara, Aini Sani Hutasoit, Alif Iman Nurlambang dan Amir Sidharta. Ada juga Atika Makarim, Deny Siregar, Politikus PDIP Eva Kusuma Sundari dan Feby Indirani.
Selain itu, sastrawan Goenawan Mohamad, Hendardi, Inayah Wulandari Wahid, Ken Matahari, Menag Lukman Hakim Saifuddin, aktivis perempuan Natalia Soebagjo, pengamat politik Ray Rangkuti, Toeti Heraty Noerhadi dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid.
Inayah mengatakan Meliana menjalani hukuman karena adanya massa yang marah dan menekan kelompok minoritas. Anak Presiden RI ke 3 Abdurahman Wahid atau Gus Dur itu menilai hukum sudah tidak punya keadilan lantaran Meliana dijatuhi vonis kasus itu.
"Hukum sangat tidak adil, massa marah menggunakan undang-undang, pasal yang mendukung kemarahan itu menekan kelompok lain yang berbeda tidak punya suara, bu Meliana bukan korban pertama," jelas dia.
Alasan menjadi jaminan penangguhan, menurut Inayah, pasal penistaan agama bisa digunakan dalam pelaksanaan pemilu 2019. Padalah pasal itu sudah pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Agung oleh Gus Dur.
"Iya karena ini sudah urgent mau pemilu kalau terus menerus ada UU bisa dipakai untuk kemudian legal kesewenang-wenangan satu kelompok terhadap kelompok lain. Kita paham banget Indonesia mau pemilu, ini akan menjadi rentan untuk dipakai kemana-mana, kita mau berapa korban lagi untuk menyatakan pasal itu bermasalah," turur Inayah.
"Dulu Gus Dur mengajukan pasal itu tahun 2012 tapi kemudian ditolak, sekarang untuk mengingatkan lagi aturan itu bermasalah," imbuh dia.
Main Hakim Sendiri
Sementara itu Pengacara Meliana, Ranto Sibarani menilai kliennya merupakan korban masyarakat yang main hakim sendiri karena warga salah menafsirkan informasi. Warga menerima informasi yang tidak benar beredar di masyarakat.
Kasus ini bermula Meliana sedang berbincang dengan ibu-ibu di warung yang curhat suara volume masjid kini keras. Namun curhatan itu disampaikan ke beberapa pihak dan salah diartikan.
"Tidak bisa main hakim sendiri, vonis Meliana 1,5 tahun, ke depan akan terbiasa masyarakat akan main hakim sendiri dari informasi yang tidak pasti," ucap Ranto saat diskusi kasus Meliana.
Setelah tersebar informasi, Ranto menyebutkan sejumlah massa warga Tanjung Balai menghampiri rumah Meliana dengan nada ancaman bakar dan bunuh. Padahal massa tersebut hanya menerima informasi yang beredar dan belum tentu benar.
"Ada satu saksi pelaku kebakaran sudah dihukum. Menariknya mereka ini ditelepon seseorang ada orang informasi ini dan melakukan aksi, ada aktor intelektual dalam kasus ini," ucap Ranto.
Selain itu, Ranto menyakini tidak ada alat bukti rekaman atau video Meliana yang dianggap menodakan agama. Kasus ini hanya dugaan yang katanya dari informasi beredar.
"Objek apa yang dituduhkan kalau hanya karena katanya-katanya pernyataan orang lain kami berharap gimana dibebaskan. Tidak ada bukti sama sekali, tidak ada rekaman video, tidak ada rekaman suara dan kalau hanya katanya-katanya. Saya dengar dia bilang begini, saya dengar dia bilang begitu, ini bisa menambah namanya kalimat ya ntar catat," jelas dia.
Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumut, menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara kepada Meiliana. Meiliana dinilai melakukan penistaan agama sesuai Pasal 165 KUHP karena mengeluhkan volume azan. Saat ini Meliana sedang mengajukan banding atas vonis itu. (detikcom/c)