Makassar (SIB) -KPK menerima 7.000 laporan tindak pidana korupsi dari berbagai daerah di Indonesia dalam kurun waktu setahun. Tak hanya tindak pidana korupsi, masyarakat bahkan melaporkan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ke KPK.
"Iya jumlah laporan rata-rata 7.000 per tahun tetapi laporan itu kadang-kadang bukan hanya korupsi, kadang korupsi tapi korupsi di luar kewenangan KPK. Bahkan ada KDRT dilaporkan juga ke KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, di Pantai Losari Makassar, Minggu (21/10).
Syarif menjelaskan, laporan korupsi yang masuk ke KPK didominasi pelayanan publik dan pengadaan barang dan jasa. Ada juga soal penyalahgunaan wewenang untuk mengeluarkan izin.
"Paling banyak berhubungan dengan pelayanan publik, pengadaan barang jasa dan penyalahgunaan wewenang mengeluarkan perizinan," jelasnya.
Terkait dengan pemberian Rp 200 juta bagi pelapor tindak pidana korupsi ke KPK, Syarif menyebut pelapor tersebut akan dilindungi kerahasiaannya. "Intinya seperti ini, mau dibayar dan tidak dibayar kita berharap kepada masyarakat melaporkan insiden korupsi yang mereka alami sendiri dan pasti dilindungi. Di web KPK sudah ada, sistem ada, nomor HP ada, fax dan email ada dan sebagainya dan jangan ragu masyarakat melaporkan kejadian korupsi di sekitarnya," paparnya.
Lemahkan KPK
Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi menduga, persoalan-persoalan internal yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan digaungkan ke publik merupakan rangkaian kerja dari elemen tertentu yang bermaksud mengusik keberadaan KPK. Tujuan akhir dari upaya itu dikhawatirkan dapat melemahkan KPK.
"Bisa diduga merupakan rangkaian kerja dari elemen tertentu yang bermaksud mengusik KPK, dan atau terus-menerus mempertentangkan faksi-faksi di tubuh KPK. Ujung dari upaya ini adalah pelemahan KPK," kata Hendardi, dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (19/10).
Hendardi menjelaskan, saat ini ada sejumlah faksi yang terjadi di tubuh KPK dan terus disuarakan ke ruang publik. Di antaranya kontroversi pertemuan Deputi Penindakan KPK dengan mantan gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, dugaan pelanggaran etik Deputi Pencegahan KPK, termasuk soal dugaan perusakan "buku merah" yang belakangan telah dibantah pimpinan KPK.
Menurut Hendardi, ihwal pertemuan komisioner KPK, pejabat dan pegawai KPK memang diatur secara tegas dalam Peraturan KPK No. 07/2013 tentang perilaku KPK. Namun demikian, sejak kasus pertemuan yang melilit Chandra M. Hamzah, Komisioner KPK periode II dan komisioner lain serta pegawai KPK pada periode itu dengan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin, pimpinan KPK atau Komite Etik KPK tidak pernah menyelesaikannya secara tegas.
"Sehingga tidak ada preseden kokoh mengatasi persoalan larangan-larangan pertemuan. Apalagi dalam peraturan KPK, pertemuan juga dibenarkan jika diketahui pimpinan," ujarnya.
Dia berpendapat, relativitas makna pertemuan itulah yang saat ini juga menimpa Deputi Penindakan KPK, meskipun pertemuan itu dilakukan di tempat terbuka dan dalam forum hubungan antar-Muspida Provinsi NTB. Menurutnya, pertemuan di tempat umum atau area publik, seperti pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, acara pernikahan, pusat olah raga, dan lain-lain, yang tidak disengaja merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan.
Sementara itu, detail peristiwa yang diduga dilakukan oleh Deputi Pencegahan KPK juga menggambarkan hal serupa, yakni adanya proses penyuaraan kuat oleh elemen dalam tubuh KPK. Amplifikasi peristiwa sangat detail dan teknis yang semestinya menjadi domain penyidik, menunjukkan faksionalisasi dalam organ penyidik KPK.
"Advokasi persoalan-persoalan di tubuh KPK dalam kerangka penguatan KPK adalah kebutuhan kita semua untuk menjaga lembaga ini terus dipercaya rakyat. Tetapi amplifying berlebihan dan membiarkannya menjadi kontroversi jelas disayangkan karena menjadikan KPK rentan dipolitisasi oleh berbagai pihak," ungkapnya. (SP/f/l)