Jakarta (SIB)
Ketua Kompolnas Mahfud Md menjelaskan maksud pernyataannya soal adanya 'kerajaan Ferdy Sambo'.
Mahfud membeberkan kekuasaan Ferdy Sambo yang besar dalam struktur Polri. Dia mengibaratkan Ferdy Sambo seperti bintang 5.
Soal kerajaan Sambo itu awalnya disinggung oleh Anggota DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Kompolnas, Komnas HAM, dan LPSK, Senin (22/8).
Habiburokhman meminta Mahfud menjelaskan soal istilah kerajaan Sambo.
"Soal kerajaan Sambo dikatakan sangat berkuasa seperti mabes dalam mabes, mohon didetailkan di luar konteks peristiwa pidana ini, seperti apa kelompok itu, bagaimana kekuasaannya, sewenang-wenangkah memindahkan orang atau mengintervensi perkara.
Itu minta tolong didetailkan dan apakah sebelum pembunuhan ini mencuat Kompolnas sudah ada informasi soal itu, dan apa yang dilakukan Kompolnas selaku pengawas eksternal," kata Habiburokhman.
Mahfud membeberkan informasi kerajaan Sambo didapat dari berbagai masukan yang diterima Kompolnas. Informasi itu berasal dari para senior Polri hingga mantan Kapolri.
"Gini kalau kerajaan Sambo itu saya melihat dari apa yang saya katakan, psikostruktural atau psikohierarkis. Jadi ini masukan-masukan yang diterima Kompolnas oleh para senior Polri, mantan Kapolri dan sebagainya datang, 'Pak, ini terlalu besar kuasanya'," katanya.
Mahfud mengatakan Ferdy Sambo menguasai kendali 3 polisi yang berbintang satu dalam penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir J ini. Lalu, polisi bintang satu tersebut justru yang diperintahkan untuk menyelidiki kasus ini.
"Karena apa, dia sebagai Kepala Divisi Propam menguasai 3 bintang satu tapi semua bintang 1 itu diperintah untuk menyelidiki oleh ini. Hasil penyelidikannya diteruskan ndak oleh ini. Lalu nanti kalau sudah selidiki pemeriksaannya oleh ini, persetujuannya apakah ini hukumannya ini juga yang menentukan, sehingga di situ ada usul resmi dan itu nanti saya sampaikan secara resmi," ujarnya.
Mahfud lantas menyebut tidak perlu adanya perubahan Undang-Undang Polri. Mahfud mengatakan kunci untuk memperbaikinya ialah mengubah struktural Polri dengan memisahkan lembaga yang mengatur, memeriksa, dan menghukum.
"Ya nggak usah ribut-ribut ngubah undang-undang lah, bikin kementerian lah. Ini aja nih kuncinya untuk mengganti psiko-strukturalnya itu sekarang dibuat seperti lembaga kekuasaan pemerintahan itu antara yang mengatur yang memeriksa pelaksanaan dan yang menghukum itu dipisah saja dan itu resmi, Pak, usul," ujarnya.
Mahfud lantas membeberkan ilustrasi maksud Sambo seperti bintang lima. Mahfud menyebut Sambo bisa mengendalikan dua polisi berbintang satu, dan satu polisi berbintang tiga.
"Makanya itu yang saya katakan itu terlalu banyak sehingga menjadi seperti kerajaan. Ada Mabes di dalam Mabes, kalau anu tuh begitu. Ceritanya nih kalau para orang-orang senior itu. Gini loh, Pak, dia punya bintang dua, tapi sini 1 1 3, berarti 5 dia. Ilustrasinya ya. Dan itu yang terjadi kan ke dalam kasus ini yang terjadi tidak bisa dibuka kasus itu sebelum bintang-bintang itu diserahkan, kalau nggak kita masih terpaku dalam skenario tembak-menembak, itu aja kalau saya jawabannya," kata Mahfud.
Hasil Autopsi
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Ade Firmansyah mengumumkan hasil autopsi ulang Brigadir J. Ada lima luka tembak masuk dan empat luka tembak keluar di tubuh Yosua.
"Dari luka-luka yang ada. Ada lima luka tembak masuk, empat luka tembak keluar," kata Ade dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (22/8).
Ade menjelaskan, dari semua luka itu, ada dua luka fatal di tubuh Yosua. Kedua luka itu terletak di dada dan kepala.
"Ada dua luka yang fatal tentunya, ada dua luka fatal yaitu luka di daerah dada dan kepala," ujar Ade.
Ade mengatakan luka tembak itu masih bisa diidentifikasi jelas. Dia mengatakan hasil pemeriksaan autopsi itu bisa dijelaskan secara ilmiah.
"Dan itu memang kita bisa jelaskan, hasil pemeriksaan lain termasuk hasil pemeriksaan, kita bisa jelaskan sekali bagaimana arah masuknya anak peluru ke dalam tubuh korban serta dia secara sesuai dengan lintasannya akan keluar dari tubuh korban," ujar Ade.
Tak Dicabut
Dia juga menegaskan bahwa kuku dari Yosua tidak ada yang dicabut.
"Nggak (benar), nggak kuku dicabut, nggak sama sekali," kata dr Ade.
Ade menyebut timnya sudah menyerahkan seluruh dokumen hasil autopsi ulang. Dia berharap hasil tersebut bisa menghilangkan keraguan dari keluarga Yosua ataupun publik.
"Semuanya tadi kita sudah sampaikan di dokumennya kita berikan kepada Bareskrim, dan semoga ini memperkuat keyakinan kepada penyidik, sebetulnya luka-luka terjadi seperti apa, ada di mana saja, supaya tidak ada lagi keragu-raguan penyidik tentang kejadian ini," ujarnya.
Sebelumnya, kuasa hukum keluarga Brigadir J mengungkapkan bahwa kuku Brigadir J telah dicabut. Hal itu memperkuat dugaan kuasa hukum bahwa ada penyiksaan.
Penyebab Jari
Tim forensik membenarkan bahwa jari Yosua patah yang disebabkan adanya lintasan anak peluru.
"Itu adalah yang jarinya itu adalah arah alur lintasan anak peluru, jelas sekali peluru keluar mengenai jarinya. Jadi itu memang alur lintasan, kalau bahasa awamnya mungkin tersambar ya seperti itu," kata dr Ade.
Ade mengatakan ada dua jari Yosua yang patah. Dua jari itu merupakan kelingking dan jari manis di tangan kiri.
"Ada dua, di jari kelingking sama manis, kiri," katanya.
Selanjutnya, Ade tidak bisa menjelaskan lebih lanjut apakah patahnya jari itu karena Yosua berlindung. Dia hanya bisa menyebut patahnya jari Yosua diakibatkan lintasan anak peluru.
"Kalau melindungi diri atau nggak, saya nggak tahu. Tapi memang sesuai analisa kami terkait anak lintasan anak peluru itu juga memang sesuai dengan arahan lintasannya ketika keluar dari tubuh tersebut," ujarnya.
Diserahkan ke Polri
Hasil autopsi ulang Brigadir Yosua telah diserahkan oleh dokter forensik kepada Polri.
Dari hasil autopsi, luka kekerasan yang ditemukan adalah luka akibat senjata api. Tidak ada bekas kekerasan selain luka senjata api.
"Saya bisa yakinkan sesuai dengan hasil pemeriksaan kami baik saat melakukan autopsi, pemeriksaan penunjang dengan pencahayaan, dan mikroskopik bahwa tidak ada luka-luka di tubuhnya selain luka akibat kekerasan senjata api," kata dr Ade Firmansyah.
"Tidak ada tanda kekerasan selain kekerasan senjata api pada tubuh korban," sambungnya. (detikcom/c)