Malang
(harianSIB.com)Pakar hukum Universitas Brawijaya (UB) Dr Aan
Eko Widiarto menilai bahwa langkah Tentara Nasional Indonesia (
TNI) yang berencana melaporkan influencer Ferry Irwandi merupakan preseden buruk yang seolah membungkam kebebasan berekspresi dan menandakan sikap antikritik dari aparat negara.
Dekan Fakultas Hukum UB ini juga menilai, pejabat publik seharusnya memiliki kedewasaan dalam menghadapi kritik, bukan justru membalasnya dengan ancaman pidana.
"Membalas kritik dengan pelaporan hukum adalah sebuah bentuk yang keliru. Ini menunjukkan bahwa pejabat publik tidak siap menerima masukan," ujar Aan dikutip kompas.com pada Rabu (10/9/2025).
Aan mengingatkan bahwa landasan hukum untuk memidanakan pengkritik pejabat publik sebenarnya sudah lemah.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan yang secara substansial menganulir pasal pencemaran nama baik yang kerap digunakan untuk menjerat kritikus pemerintah atau aparat.
"MK sudah menegaskan bahwa pasal pencemaran nama baik terhadap pejabat publik tidak bisa lagi diterapkan seperti dulu. Pejabat publik memiliki konsekuensi untuk diawasi dan dikritik oleh masyarakat. Jadi, menggunakan jalur hukum untuk membungkam kritik adalah langkah yang mundur dan bertentangan dengan semangat konstitusi," katanya.
Lebih jauh, Aan juga menyoroti dampak negatif dari praktik pelaporan ini terhadap iklim demokrasi, yakni bisa menjadi bentuk teror dan intimidasi bagi warga negara.
Menurutnya, tindakan ini secara efektif menyempitkan ruang diskusi yang sehat dan menghambat partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Aan mengimbau agar seluruh pejabat negara dan aparat penegak hukum untuk lebih proporsional dan bijak dalam menyikapi kritik. Ia menekankan bahwa kritik adalah elemen esensial dalam sebuah negara demokrasi yang sehat, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan penyeimbang.
Editor
: Wilfred Manullang