Medan(harianSIB.com)
Usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk mantan Presiden RI ke-2, Soeharto, kembali mengemuka dan memicu perdebatan di tengah masyarakat Indonesia.
Dalam proses yang sedang berlangsung, Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) menyatakan usulan pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah diajukan dan masih dalam tahap penilaian. "Kemensos hanya bertugas melakukan pengkajian dan mengusulkan. Keputusan tetap berada di tangan Dewan Gelar di Istana," ujar Agus Jabo Priyono selaku Wakil Menteri Sosial di Jakarta, Sabtu (24/5/2025).
Usulan ini datang di tengah dua narasi yang saling bertolak-belakang: satu menyoroti jasa Soeharto dalam pembangunan Indonesia, terutama masa 'Repelita', swasembada pangan, serta stabilitas nasional ; yang lain menegaskan catatan pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) selama era pemerintahan Orde Baru.
Di pihak pendukung, Partai Golkar menyatakan Soeharto layak memperoleh gelar ini sebagai bentuk penghargaan terhadap "Bapak Pembangunan Indonesia". Sekjen Golkar, Muhammad Sarmuji, mengatakan bahwa meskipun ada kekurangan sebagai manusia, "jasa beliau terhadap negara sangat besar".
Baca Juga: Viktor Silaen Ingatkan Pernyataan Menkeu Soal Dana Mengendap di Bank Jangan Picu Kegaduhan di Sumut Sementara itu, kalangan aktivis dan masyarakat sipil menolak keras. Organisasi seperti Amnesty International Indonesia menilai bahwa mengusulkan
Soeharto sebagai pahlawan nasional "mencederai amanat
reformasi", karena pemerintah masih belum menyelesaikan penuntasan
pelanggaran HAM berat era Orde Baru.
Para akademisi juga menegaskan bahwa meski Soeharto memenuhi persyaratan administratif menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang pengusulan gelar pahlawan nasional, aspek historis dan moral tidak dapat diabaikan. Sejarawan Agus Suwignyo (UGM) menyatakan: "Kalau melihat kriteria dan persyaratan … nama Soeharto memang memenuhi kriteria tersebut. Namun tidak bisa juga mengabaikan fakta sejarah dan kontroversinya di tahun 1965."