Medan (SIB) -Falsafah Simalungun "Habonaron do Bona" (HdB) harus menjadi karakter masyarakat Simalungun dalam berperilaku. Sebab masyarakat Simalungun dimana pun berada selalu membawa pengaruh karena benar.Hal itu dikemukakan Prof Dr Ibnu Hajar Damanik dalam Forum Diskusi Habonaron do Bona dalam Mewujudkan Manusia Simalungun yang Unggul dan Kompetitif menjawab tantangan Abad ke 21 yang digelar Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partuha Maujana Simalungun (PMS) di Hotel Polonia Medan, Sabtu (12/8).Dijelaskan, dalam kehidupan masyarakat Simalungun HdB merupakan nilai luhur, sebuah ajaran kolektif yang tidak saja sebagai acuan berperilaku, tetapi juga menjadi ajaran spiritual yang dijadikan sebagai falsafah hidup yang pada gilirannya dapat membentuk jati diri Simalungun.Secara harafiah kata Ibnu, habonaron dapat diartikan sebagai kebenaran bersumber dari Tuhan, Allah. Bona berarti pangkal, sumber, asal, hulu, inti. Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia artinya dariNya lah segala sumber kebenaran. Tuhan adalah sumber segala kebenaran, sumber energi, awal dari segala aktivitas manusia. Pemahaman akan makna yang demikian berlaku untuk yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama dan alam semesta.HdB merupakan falsafah hidup, orientasi tata kehidupan untuk mewujudkan masyarakat yang hidup dalam damai, sejahtera, tenteram, rukun dan harmoni serta berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan papan, dan kebenaran adalah yang utama.Sedangkan falsafah suku Simalungun ditinjau dari ajaran agama Islam, H Nikmat Saragih selaku narasumber mengatakan, tidak boleh ragu menegakkan kebenaran, sebab sudah pasti kebenaran berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan diperintahkan kepada seluruh umatNya agar yang benar tidak perlu diragukan."Karena itu lanjutkan falsafah ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengimplementasikan dari keluarga, termasuk lingkungan khusus Simalungun dan secara umumnya semua masyarakat Indonesia," jelas Nikmat Saragih yang juga tokoh Muslim dari Tebingtinggi itu.Sementara Dr Sarmedi Purba SpOG memaparkan tentang Habonaron do Bona dalam Perspektif politik di Simalungun. Menurutnya, dikalangan media saat ini, tidak ada persamaan persepsi tentang politik di Simalungun, apalagi kesepahaman berdasarkan pemahaman HdB. Setiap politisi memiliki pradigma politik sendiri dan sering saling sikut, termasuk antara etnis Simalungun sendiri.Hal ini disebabkan, pemimpin di Simalungun tidak cukup menjadi tokoh Simalungun saja, tetapi harus jadi tokoh nasional yang diterima berbagai suku yang didominasi suku Jawa, Batak Toba dan lainnya. Mindset harus diubah menjadi pemimpin di NKRI bukan, di kerajaan Simalungun. Artinya marsimalungun itu selalu dalam konteks marindonesia.Dalam sistem politik nasional, katanya, peran partai masih sangat penting di masa depan. Untuk itu perlu dipikirkan sejak dini agar pemuda Simalungun terjun ke partai untuk jadi pemimpin masa depan. Karena partai belum berhasil mengkader pemimpin daerah yang handal, ketokohan calon pemimpin perlu sebelum memasuki partai.Sementara di sesi kedua diskusi hadir dua narasumber Pdt Juandaha Raya P Dasuha MTh memaparkan makna filosofi Habonaron do Bona ditinjau dari pelaksanaan adat istiadat Simalungun dan juga oleh Prof Amrin Saragih PhD MA DTEFL (Guru Besar Unimed Medan).Hadir dalam acara Ketua DPC PMS Kota Medan James Damanik, Ketua Panitia Seminar Drs Burharuddin Purba MHum, Sekretaris Panitia Ir Darmansyah Damanik, Drs Salmon Sinaga (Tokoh Masyarakat Simalungun), Pardi Purba (mewakili DPP PMS), Nurdin Saragih SE (Pemerhati Sosial Simalungun), JSM Damanik dan mewakili Ketua Majelis Hapoltakan Nabolon (MHN) dari Jakarta dan undangan lainnya. (A12/c)