Diskusi mengenai keagamaan dan perdamaian kerap kali dianggap berat bagi sebagian orang. Banyak yang menilai bahwa membahas mengenai agama hanya akan menimbulkan perdebatan tiada ujung. Bersamaan dengan hal tersebut, komunitas lintas iman, Youth Interfaith Peacemaker Camp (YIPC) Sumatera Utara mewadahi anak muda untuk berdialog dan berdiskusi mengenai keagamaan dan kedamaian yang berpusat di Yogyakarta.
YIPC ini sudah tersebar di berbagai daerah seperti Salatiga, Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Fasilitator YIPC Sumut, Nasse Dauli menuturkan bahwa YIPC Sumut ini merupakan komunitas yang bergerak di bidang generasi pembawa damai melalui anak muda.
"Kita ini bergerak untuk menciptakan generasi muda untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian. Juga syarat untuk bergabung ke YIPC ini yaitu bagi agama Islam, Katolik dan Protestan. Tapi kegiatan ini tidak tertutup untuk aliran kepercayaan lain," ujar Nasse, Rabu (29/1).
Nasse menjelaskan bahwa ketika melakukan dialog agama tidak hanya berdasarkan ucapan saja namun memiliki sumber yaitu Alquran dan Alkitab. Dalam membahas mengenai dialog keagamaan dan kedamaian, YIPC rutin melakukan kunjungan ke komunitas keagamaan seperti HMI, GMKI, dan Parmalim.
"Kita berusaha hadir untuk berinteraksi dan tujuan kita itu untuk berdamai dengan diri sendiri, lingkungan, sesama, dan Tuhan. Ketika kita berkunjung juga berdialog dengan pemuka agama di sana, mengenai ajarannya," ungkapnya.
Komunitas yang terbentuk di tahun 2013 ini sudah memiliki anggota sebanyak 30 anggota. Di antaranya ada Nurjelita yang tertarik bergabung di YIPC karena keinginannya memperluas pertemanan kepada pemeluk agama lain.
"Alasan saya mengikuti kegiatan yipc karena awalnya saya tidak mempunyai teman dari luar agama saya sehingga pengetahuan tentang agama lain sangat minim. Selain itu saya juga mempunyai ketertarikan untuk mengetahui pemeluk agama orang lain," ujar Jelita.
Jelita juga mengungkapkan bahwa banyak pengalaman berkesan ketika bergabung ke dalam komunitas lintas agama ini.
"Pengalaman yang paling berkesan yaitu di saat kita member YIPC membahas kitab suci bersama menurut perspektif masing masing dan menemukan beberapa persamaan. Di sini kita lebih banyak belajar mengenai perbedaan," tuturnya.
Prinsip dari YIPC yaitu sangat menolak adanya kekerasan baik dalam menyelesaikan masalah atau mengenai urusan apapun. Nasse menilai masih banyak jalan untuk menegakkan kedamaian tanpa adanya kekerasan.
"Kita sebagai peacemaker, kita menolak segala sesuatu kekerasan. Kalau gerakan kita seperti aksi kecil lebih seperti menyuarakan di media sosial. Misalnya saat peristiwa penembakan di Masjid New Zealand, kita kerjasama dengan Hijrah Bareng untuk mengadakan 1000 tandatangan untuk New Zealand dengan tujuan menolak aksi-aksi tersebut," kata Nasse.
Nasse mengungkapkan, YIPC ini wadah berdiskusi tanpa memaksakan kehendak. "YIPC ini bukan menyepakati suatu hal perbedaan. Artinya kita bebas menerima, mengetahui, memelajari tapi kita bukan menyepakati dan mengimani perbedaan tersebut.
Dan selagi konflik yang terjadi kita punya cara untuk menyelesaikannya yang penting jauh dari kekerasan baik secara psikis maupun fisik," ungkapnya.
Dia berharap YIPC dapat menjadi wadah anak muda untuk lebih terbuka akan perbedaan dan mampu membawa perdamaian ketika menghadapi konflik atas nama agama.
"Semoga dapat menciptakan generasi muda yang mencintai perbedaan dan keberagaman dan mampu lebih luas lagi menyebarkan nilai perdamaian dan bagaimana sebagai umat menjadi suatu generasi yang tidak terprovokasi dalam menghadapi konflik khususnya atas nama agama," pungkas Nasse. (komunita.id/f)