Tokyo(harianSIB.com)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bertemu Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi di Tokyo, Selasa (28/10/2025), dalam pertemuan pertama yang menandai babak baru hubungan dua sekutu utama di Asia Timur. Pertemuan itu bukan sekadar seremonial, tetapi ajang negosiasi penting yang menyentuh isu investasi, pertahanan, dan kemandirian ekonomi dari pengaruh China.
Takaichi, perdana menteri perempuan pertama Jepang, menghadapi ujian awal kepemimpinannya dalam mengelola hubungan dengan Trump yang dikenal keras dan berorientasi transaksi. Di balik jabat tangan hangat, Jepang menyiapkan sejumlah langkah diplomatik strategis, termasuk rencana pembelian gas alam cair (LNG), truk pikap, dan kedelai asal AS. Langkah itu dinilai sebagai upaya memperkuat hubungan ekonomi sekaligus menenangkan tuntutan politik domestik Trump.
Trump bahkan memuji Takaichi sebagai "pemimpin yang bijak dan kuat" melalui media sosialnya, memperlihatkan nada optimisme terhadap kemitraan kedua negara. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan penting di bidang kerja sama pengembangan teknologi nirkabel generasi baru, kecerdasan buatan (AI), serta penguatan pasokan mineral kritikal — bagian dari strategi bersama untuk mengurangi ketergantungan terhadap China.
Namun di balik harmoni diplomatik itu, terdapat tantangan besar. Trump menekan Jepang agar meningkatkan anggaran pertahanannya dari target 2 persen menjadi 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ia menilai Jepang selama ini "kurang menekankan pengeluaran pertahanannya sendiri."
Baca Juga: Dua Pesawat AS Jatuh di Laut China Selatan, Seluruh Awak Selamat Takaichi, yang dikenal berpandangan keras terhadap keamanan nasional, menanggapi dengan mempercepat target peningkatan belanja
pertahanan ke Maret 2026. Langkah itu dimaksudkan untuk meredakan tekanan Gedung Putih sekaligus menunjukkan ketegasan
Jepang di tengah ancaman regional dari
China dan Korea Utara.
Isu investasi juga menjadi sorotan. Trump menegaskan pentingnya realisasi paket investasi senilai 550 miliar dolar AS untuk proyek-proyek di Amerika. Sempat menilai kesepakatan itu tidak adil bagi Jepang, Takaichi akhirnya melunak dan berupaya memastikan dana tersebut disalurkan dengan prinsip saling menguntungkan, bukan sekadar "mesin ATM" bagi Washington.