Medan
(harianSIB.com)Seruan untuk menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL), oleh siapapun saat ini, sesungguhnya sudah sangat terlambat. Kerusakan ekologis, sosial, dan budaya yang ditinggalkan korporasi berbasis ekstraktivisme ini terlalu dalam dan sistemik untuk hanya dijawab dengan wacana penghentian operasi.Karena itu, yang mendesak sekarang adalah
Sidang Rakyat: sebuah forum moral-politik untuk mengaudit secara menyeluruh kerusakan yang terjadi, memetakan aktor-aktor yang bertanggung jawab, serta merumuskan sanksi yang setimpal.
Demikian akademisi Shohibul Anshor Siregar kepada Jurnalis SIB News Network (SNN) di Medan, Minggu (14/9/2025), menyikapi berbagai sikap dan tanggapan terkait keberadaan PT TPL akhir-akhir ini.
Dikatakan, dalam Sidang Rakyat itu, semua pihak harus ditempatkan secara adil.
"Saya sendiri, sebagai warga asal Tapanuli sekaligus akademisi, pantas menerima vonis karena terlalu lama membiarkan TPL beroperasi tanpa menempatkan kemaslahatan umum di atas keuntungan korporasi. Begitu juga para jurnalis yang lalai, LSM yang hanya sesekali bersuara, dan terutama gereja—institusi moral terbesar di Tanah Batak—yang tidak mungkin dianggap bebas dari tanggung jawab. Diam atau kompromi adalah bentuk keterlibatan," tegas Shohibul.
Menurutnya, TPL bukan sekadar satu perusahaan, melainkan cermin dari model pembangunan Indonesia yang pragmatis, berlandaskan ekstraksi, dan abai terhadap keberlanjutan.
"Karena itu, upaya menghentikannya tidak boleh setengah-setengah. Ia harus ditempatkan sebagai titik balik perjuangan melawan ekstraktivisme yang menjamur di negeri ini," tegasnya.
Beberapa bulan lalu, lanjutnya, publik sempat menaruh harapan ketika rekaman video seruan Ephorus HKBP tersebar, diikuti pertemuan dengan PP Muhammadiyah dan PBNU. Namun hingga kini, langkah konkret tidak kunjung lahir. Kebekuan itu hanya memperpanjang penderitaan masyarakat dan memperlebar ruang gerak korporasi.
"Maka, urgensi Sidang Rakyat tidak bisa ditunda. Sidang itu bukan hanya forum penghukuman moral, tetapi juga arena untuk memetakan rencana komprehensif ke depan: bagaimana memulihkan ekosistem, menata ulang orientasi pembangunan, serta memastikan tragedi TPL tidak terulang dalam rupa-rupa wajah korporasi lain di masa mendatang," sebut putra Pahae Taput itu. (**)