Cerpen

Aku Ingin Berlari dalam Terangnya Malam

karya Melly Andriani Br Ginting - Alumni SMA Van Duynhoven, Saribudolok - Simalungun
Redaksi - Minggu, 10 Mei 2020 21:59 WIB

Warning: getimagesize(https://www.hariansib.com/cdn/photo/berita/dir052020/_1015_Aku-Ingin-Berlari-dalam-Terangnya-Malam.jpg): Failed to open stream: HTTP request failed! HTTP/1.1 404 Not Found in /home/u956909844/domains/hariansib.com/public_html/amp/detail.php on line 170

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u956909844/domains/hariansib.com/public_html/amp/detail.php on line 171

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u956909844/domains/hariansib.com/public_html/amp/detail.php on line 172
VOA ISLAM
Ilustrasi

Nadia. Aku mengenalnya ketika sama-sama duduk di pojok sepi perpustakaan. Kata itu aku sedang mengumpulkan banyak teori untuk menyelesaikan skripsi.

Di pojok sana, ada perempuan tekun membaca buku. Aku berpikir kaum Hawa tersebut sama seperti aku. Sedang mencari ragam teori mendukung penyelesaian skripsi. Tetapi, ah... wanita tersebut pasti bukan mahasiswa.

Kalau aku diminta menebak, mungkin usianya 16-an atau paling banter 17 tahun. Tengoklah wajahnya yang licin tanpa garis sedikitpun. Lalat saja bisa tergelincir.

Urat hijau kemerahjambuan di bawah kulitnya terlihat. Ada rambut tipis di atas bibirnya. Alis matanya tebal, selegam rambutnya yang terurai. Dara itu, pasti butuh bantuan.

Aduh, saking asyiknya aku menikmati keelokan lukisan-Nya melalui sebentuk wajah seorang dara, aku tak sadar diperhatikannya.

Aku mencoba melempar senyum, dibalasnya dengan ngakak dan menutupkan jari-jemarinya di depan mulutnya.

Belum selesai aku tergagap, aku beranikan diri mendekat dan langsung menyodorkan tangan.

“Ada apa Bang? Kan belum Lebaran?”

Aku tertawa. Busyetlah!

“Mau minta nomor WA?” lanjutnya. “Nomor rekening, Bang. Atau, ntar kukasih nomor WA tapi paketku cekak!”

Aku salah tingkah. Kuambil androidku. Langsung kuserahkan. “Ambil seperlunya. Selesai itu, kembalikan padaku!”

Hari yang indah itu berganti ke pertemuan-pertemuan suka di kemudian hari. Nadia semakin dekat denganku. Aku selalu nembak tapi perempuan yang kulihat semakin hari semakin cantik itu cuek saja.

“Kamu mati rasa ya?”

“Belum saatnya kaucium aku!”

Anjirrr... Nadia ini cewek cantik atau indigo sih? Ia selalu tahu ujung dari kata-kataku sebelum aku bicara. Itulah yang membuatku semakin suka.

Aku pun ngotot ngajaknya jalan-jalan tapi ia bertahan bertemu di perpustakaan. Alasannya, jalan-jalan butuh biaya. Di perpustakaan, jika jenuh, paling bergeser ke kantin dan ngeteh. Hemat.

Benar juga, ya. Tapi membuatku bingung. Nadia bukan ngekos tapi kok tahu perasaan orang yang menimba ilmu dan hidup di rantau hanya mengandalkan kiriman dari kampung?

Atas kesepakatan, kami bertemu di perpustakaan saja. Tetapi aku mau lebih. Bagaimana jika di luar jam kampus. Sore atau malam Minggu.

Nadia menolak. Sejuta alasan untuk menghindari aku bertemu di luar kampus. Aku jadi curiga. Jangan-jangan ia sudah punya gandengan? Tetapi ia bersumpah tidak ada.

Jawabannya membuatku lega. Sejak saat itu, aku rajin berdoa. Doanya banyak tapi satu tema yang terus kuulang, jangan ada yang lain di hati Nadia selain aku.

Kawan-kawan jadi heran. Apa yang membuatku jadi sangat religius? Padahal tak ada kejadian istimewa.

Aku sengaja menyimpan cerita soal Nadia dari mereka. Aku takut kalah di tekongan. Soalnya, Nadia terlalu cantik untuk didekati orang lain. Aku sudah tekad, jangan ada lelaki lain dekat dengannya. Aku janji pada-Nya... akan menjaga Nadia seistimewanya.

Tetapi, sudah berapa hari aku tak menemui Nadia di perpustakaan. Begitu tak melihatnya, aku uring-uringan. Berpikir buruk, Jangan-jangan Nadia sakit! Tapi kok gak bilang-bilang? Biar aku bezuk.

Biarlah aku minjam uang dari kawan-kawan atau minta tambah kiriman dari kampung dengan alasan butuh dana untuk bimbingan skripsi.

Sakitnya, tak ada satu orang pun yang tahu keberadaan Nadia. Aku sudah coba ke rumahnya tapi hingga larut malam, perempuan idamanku tersebut tak ke luar. Mau masuk, takut dimarahi.

Bukankah Nadia bilang, jangan sekali-kali datang ke rumahnya. Aku pun tak mau datang selain melamarnya. Cihuuuy.

Mendekat ke gerbang rumahnya, gong-gongan anjing menyambut. Suaranya merdu, seperti soprano marah. Anjingnya galak. Nadia memang pernah cerita memeliha anjing yang tingginya seperti manusia.

Anjing tersebut bisa melompat pagar tapi punya insting. Ia tahu jika ada yang ingin berbuat jahat. Tetapi, aku kan tidak ingin berbuat tak baik, kenapa terus digong-gong?

Aku tanya pada tetangga dan warung yang di dekat rumah Nadia, jawabannya sama. Nadia emang jarang sekali ke luar. Nadia dikenal sebagai cewek rumahan.

Duhai, bangga juga rasanya punya cewek seperti Nadia. Ke luar rumah saja jarang, apalagi ke luar dari hatiku! Tapi, Nadia belum pernah menjawab permintaanku.

Aku tak bosan mencarinya. Tiap hari ke perpustakaan, tak ketemu. Tiap hari ke kampusnya, kosong. Kan tak mungkin aku lapor ke polisi kehilangan cewek! Apa hak dan kewenanganku.

Aku jadi mulai gila! Mengancam-Nya! Bila dalam minggu ini tidak bertemu dengan Nadia, aku mengurangi jadwal berdoa. Lihatlah ya....

Bebanku jadi makin berat. Mikirkan Nadia dan skripsi. Padahal, orangtua dari kampung sudah wanti-wanti. Kalau semester ini belum juga selesai, kiriman dihentikan.

Maksudnya mengatakan, aku jadi gelandangan di rantau. Ah, kejam!

Takut sama orangtua, aku coba fokus pada skripsi. Tetapi, suer... wajah Nadia yang terus berada di monitor laptopku. Pernah, saking rindunya, air mataku menitik tak sengaja.

Puisi-puisi pun mengalir. Isinya hanya untuk seorang perempuan bernama Nadia. Aku kehilangan jejaknya.

Malam-malam, saat jalanan sepi dan warung sudah tak ada, aku ke luar kos. Berjalan semampunya. Aku ingin ke rumah Nadia. Memencet bel di pagar angkuh yang dikawal anjing galak.

Siapapun yang menyambut, kuterima. Asalkan cerita tentang Nadia utuh kuperoleh. Tetapi aku tak berani.

Sampai pagi hari aku jalan mengitari kota. Ketika rombongan balapan liar menabrakku dan mengantarkanku ke rumah sakit.

Beberapa jam aku terlantar di UGD, seorang perempuan hadir dan berteriak.

Aku terbelalak. Nadia? Eh, rupanya ia dirawat dan mampir ke UGD karena dapat cerita ada korban tabrak lari yang tidak punya jati diri. (d)


Tag:

Berita Terkait

Sinar Remaja

Kalahkan MA Nurul Hikmah Tinjauan di Final, Tim Voli Putri SMA YPK Pematangsiantar Juara

Sinar Remaja

Dinkes Simalungun Gelar Lomba Peringati HKN ke-61

Sinar Remaja

Pencuri HP di Purwosari Simalungun Diamankan Polisi

Sinar Remaja

Kapolda Sumut Resmikan SPPG Polres Simalungun

Sinar Remaja

Desa Hutasaing Simalungun Belum Terjangkau Jaringan Internet 4G

Sinar Remaja

Bunda PAUD Simalungun Sampaikan Terima Kasih Kepada Guru PAUD