Peribahasa "membuang garam ke laut" tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kita. Merupakan pekerjaan yang sia-sia, karena tidak akan mempengaruhi asinnya air laut. Padahal seharusnya benda yang masih diimpor Indonesia ini meskipun sumber laut kita sangat luas, masih sangat banyak yang membutuhkan.
Hal ini mencuat setelah Anggota DPRD Sumut Meryl Rouly Saragih menanggapi kurang responnya Pemprovsu mengakomodir hasil reses dan kunjungan kerja anggota dewan ke daerah pemilihannya masing-masing. Padahal anggaran reses 100 DPRD SU setiap tahun mencapai Rp.14,5 miliar, akhirnya tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Keadaan ini tentu saja sangat disesalkan, karena hal ini bisa saja terjadi tidak hanya di Sumut tetapi juga di daerah lain di seluruh Indonesia. Tidak terbayang berapa uang yang berhamburan (sia-sia) jika hasil reses dan kunker anggota dewan itu tidak diakomodir pemerintah.
Bagi anggota dewan, reses merupakan salah satu bagian dari tugas dan pengabdiannya sebagai wakil rakyat, khususnya di daerah pemilihannya (dapil) sehingga mereka difasilitasi dengan anggaran yang memadai. Mereka difasilitasi dengan anggaran besar, tentu karena reses ini sangat penting, tidak hanya bagi anggota dewan tetapi juga bagi masyarakat yang berkesempatan tatap muka dan menyampaikan masalah dan masukan bagi pemerintah melalui anggota dewan.
Maka jika masukan dan masalah dihadapi masyarakat dianggap hanya angin lalu saja oleh pemerintah, maka lebih baik reses dan kunker itu dipertimbangkan kembali, apakah masih ada atau tidak manfaatnya bagi masyarakat. Apalagi selama ini tidak ada hukumnya, jika hasil reses itu tidak ditindaklanjuti pemerintah.
Bagi anggota dewan, reses itu tentu saja merupakan salah satu cara untuk membayar janji-janji politiknya kepada masyarakat yang sebelumnya disampaikan saat kampanye. Sehingga jika keluhan masyarakat yang disampaikan kepada anggota dewan tidak ditindaklanjuti pemerintah, maka akhirnya akan merugikan anggota dewan yang menjadi penyambung lidah rakyat itu. Sehingga pada pemilu selanjutnya akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat pemilihnya.
Di era digital saat ini, dengan maraknya produk-produk teknologi komunikasi maka penyampaian informasi pun sudah semakin cepat. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, maka frekuensi tatap muka sudah semakin diminimalisir untuk mencegah meluasnya penyebaran virus itu.
Kenyataannya memang metode berkomunikasi secara zoom dan virtual sudah semakin tidak asing lagi bagi masyarakat. Tidak hanya berkomunikasi dengan masyarakat, bahkan proses belajar mengajar anak-anak sekolah dan mahasiswa juga sudah dilakukan secara daring dalam waktu setahun terakhir ini.
Sehingga para anggota dewan pun harus mempertimbangkan kembali metode resesnya di dapil masing-masing. Terlalu boros, Pemprovsu mengeluarkan anggaran sampai Rp14,5 miliar untuk 100 anggota DPRD SU atau rata-rata Rp.145 juta setiap anggota dewan setahun hanya untuk reses. Apalagi jika hasil resesnya pun diabaikan pemerintah pula.
Apa tidak lebih baik, di tengah Covid ini, masyarakat di dapilnya masing-masing diimbau mengirimkan keluhannya langsung kepada anggota dean lewat media digital?. Bila perlu bisa dilakukan lewat video call dengan masyarakat atau lewat zoom. Hal ini tentu sangat efisien, sehingga anggaran yang ada bisa dialihkan untuk pembangunan atau penanggulangan dampak Covid-19.
Dengan berbagai argumen, hal ini tentu akan mendapat penolakan dari anggota dewan. Padahal upaya ini sekaligus mengurangi aktivitas anggota dewan untuk bepergian ke luar kota. Sehingga jika reses yang "membuang garam ke laut" ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin masyarakat menilai bahwa kunjungan kerja anggota dewan dan reses ini hanya merupakan "pelesiran" yang bermanfaat bagi anggota dewan tetapi tidak bagi masyarakat.(*)